KEBEBASAN PERS DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN SULBAR


Oleh : Salim Majid

Pers sebagai pilar ke-empat demokrasi.setelah eksekutive, legeslative dan yudikative. Tentu memiliki peran yang sangat urgen dalam mengawal proses demokrasi yang tengah berlangsung di negeri ini.

Diera kebebasan pers.Paradigma pers telah bergeser dari ruang perjuangan idiologi ke ruang komersial. Memberi ruang yang bebas dalam mengola,menyimpan dan menyebarluaskan. informasi. Hak-hak publik harus terpenuhi untuk mendapatkan informasi yang sehat dan benar. Hal itu dijamin dalam UU NO 4O tahun 1999.(sumber Dewan Pers)

Ditengah kebebasannya dalam menyampaikan informasi ke publik. Tentu ada regulasi yang mengatur agar pers tidak kebablasan. Selain UU Pers Tahun 1999. Kode etik jurnalistik menjadi format yang baku bagi setiap individu/pewarta.

Disanalah rambu-rambu itu di patuhi. Sehingga informasi yang menggelinding di ruang publik. Baik informasi sosial kontol,maupun informasi terkait pembagunanan dapat di konsumsi publik secarah benar, berimbang dan adil.

Disisi lain pers harus mampu bertindak sebagai penyeimbang dalam setiap kebijakan dan keputusan pejabat publik( pemerintah) yang cenderung merugikan publik.

Dalam konteks pembangunan di sulawesi Barat. Pers memiliki peran yang sangat penting dalam memajukan satu daerah. Kritik terhadap kebijakan pemerintah daerah dalam membangun provinsi ke 33 di Indonesia.

Tak henti'-hentinya media massa lokal menyuarakan.Baik dalam konteks alokasi penggunaan anggaran yang tidak berpihak ke publik. Menjadi kritik konstruktif agar pemangku kepentingan bisa mendengarnya.
Informasi yang bersumber dari media massa. Tak hanya di dengar pengambil keputusan. Tapi bisa menjadi refresentasi untuk pengambilan keputusan. Sehingga informasi itu tidak hanya bersifat informasi saja. Tapi mampu terimplementasi  dalam tatanan realitas.
Ditengah kebebasannya pers telah melahirkan berbagai permasalahan. Kebebasan yang lahir ditengah era reformasi tanpa diimbangi sumber daya manusia ( SDM) insan pers itu sendiri.
Tentu mempengaruhi pesan (konten berita) yang di sampaikan ke publik. Dan publik mengkonsumsinya sebagai satu informasi yang seolah -olah itu benar.
Mendesain provinsi sulawesi Barat. Tak cukup di atas meja rapat. Visi-misi sang gubernur idealnya bisa di implementasikan dalam renstra dan musrembang. Konsekuensinya banyak penggunaan anggaran yang tidak tepat sasaran. Proyek-proyek tumpang-tindih dan penganggaran yang ganda mejadi menu sehari-hari di media lokal kita.
Media lokal sering menyuarakan ketimpangan dan masih amburadulnya managemen pengelolan anggaran negara. Konsekuensinya tak sedikit para oknum pejabat di sulbar harus berakhir di meja hijau. Dibidang investasi daerah. Belum sepenuhnya memberi kontribusi yang siknifikan. Kesan menghambur-hamburkan uang rakyat. Bertandang ke negeri tirai bambu cina. Pameran ekspo untuk memperkenalkan produk unggulan daerah. Idealnya berbanding lurus antara output dan input.
Ironisnya lembaga yang diberi kewenangan untuk mengontrol dan mengawal setiap kebijakan pemerinrah. Justru ikut mengamini program – program yang tidak pro rakyat itu. Posisi legeslative sebsgai fungsi pengawasan tekesan pula “ masuk angin”. Satu-satunya lembaga kontrol yang bisa diharap ada ditangan pers. Itu pun kadang tak berdaya ditengah. Paling tidak ada setitik harapan daripada harapan sirna.
Menguji Produk Berita
Informasi yang menggelinding diruang-ruang publik,baik dalam konteks pembangunan di daerah. Maupun dalam konteks hubungan sosial,Politik dan budaya.Telah melahirkan dua aspek yakni fakta dan opini.
Fakta yang lahir dari satu produk berita selalu diuji kebenarannya dan tidak distorsi. Bukan pendapat atau gagasan yang masih di ragukan kebenarannya. Fakta selalu bicara data-data,angka tempat dan waktu kejadian. Serta nara sumber yang bisa di percaya(Refresentative)
Produk berita terkait geliat pembangunan di Sulawesi Barat kerap tak seimbang dan over confident. Pers dalam hubungannya dengan pembangunan di sulbar. Tak semata mengutak - atik berapa banyak mega proyek yang di bangun dan tiriliunan uang negara yang di gelontorkan untuk membangun satu daerah.
Aspek tak kalah pentingnya adalah indeks pembangunan manusianya (IPM) Sebab membangun daerah tanpa diimbangi pembangunan manusia sama halnya berjalan di tengah gegelapan.
Disanalah eksistensi informasi sebagai produk berita mampu menerangi jalan yang gelap menjadi terang-benderang. Produk berita terkait angka kemiskinan di sulbar selalu mengacu pada angka’angka,data dan sumber yang layak di percaya. Bukan opini yang di perkirakan atau pendapat seseorang yang masih perlu di uji kebenarannya.
Begitu pula dengan pembangunan di sulbar selama priode Anwar Adnan Saleh. Barometer keberhasilan dan kegagalan pembangunan bukan diukur secarah fisik semata. Kajian data dan barometer yang terukur dan mampu dipertanggungjawabkan  secarah akademik. Menjadi point penting agar informasi itu tidak bias.
Keberhasilan dan kegagalan satu pembangunan menjadi titik central media massa dalam menguji kredibilitas media itu sendiri. Sudut pandang redaksi bisa saja berbeda-beda. Tapi subtansi dan etika  harus sama. Kejelian dan kemampuan menganalisa dengan baik. Dan memiliki referensi yang memadai agar produk berita itu betul-betul obyektiv.
Distorsi informasi sebagai karya jurnalistik akan mempengaruhi opini publik. Opini publik akan terbentuk dan kerap menjastisfikasi satu persoalan.
Subyektivitas berita menjadi ruang pertarungan hati nurani sang jurnalis. Mengurai informasi dalam sudut pandang subyektivitas bukan soal halal dan haram . Tapi mengabaikan obyektivitas berita akan membunuh independensi dan profesionalitas sang jurnalis.
Wajah Pers Kita
Diera kemerdekaan Pers UUD 1945 telah menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk berpendapat,berekspresi dan menyalurkan pendapatnya lewat saluran media massa. Kemerdekaan pers sebagai amanat UU, tentu menjadi pertarungan profesionalitas media pers.
Pers sejatinya menjadi penyeimbang dalam setiap gerak lokomotif informasi yang kontruktif dan eduktif.
Menurut Tokoh Pers Nasional Ashadi Sriger, fungsi pers sebagai edukativ dan kontrol sosial yang konstruktiv (SPS,1990).
Namu mecermati fungsi pers saat ini. Lebih pada komersialisasi sebagai industri menjadi problem tersendiri. Sebab pers di tuntut untuk tumbuh dan berkembang dengan cara yang halal(iklan). Disisi lain media pers mampu membangun komunikasi yang kontruktiv dan edukativ. Idealisme sang jurnalis sebagai ujung tombak ditengah kompetitif media Pers akan di uji.
Domain konten hiburan pula sebagai akumulasi dari satu industri pers yang menuntut harus mampu bertahan hidup.
Karenanya hubungan antara kekuasaan dan pers sejatinya sebagai mitra yakni simbiosis mutualisme. Bukan sebagai korelasi yang kognitif. Jika korelasi itu terbangun dalam intervensi kekuasaan. Akan memunculkan ketidak percayaan publik terhadap pers.
Jadi pers diibaratkan wakil “TUHAN” di bumi. Sebab lahir dari kepentingan publik.Suara pers adalah suara Rakyat dan suara Rakyat adalah suara “Tuhan”. Sedangkan Penguasa (pemerintah) sebagai penggerak amanah dari Rakyat.
Jika amanah dijalankan tentu pers yang mengawasi. Begtu pula hubungannya dalam membangun satu daerah.
Dalam subtansi membangun satu daerah .Subtansinya untuk kesejahteraan Rakyat. Untuk hayat hidup orang banyak.
Ketika lokomotif kekuasaan itu bergerak di luar jalur rel. Tentu pers wajib mengingatkan pemerintah. Tentu dengan cara yang kontruktiv. Cara yang edukativ dan etis.
Olehnya itu,Pers tak hanya memiliki korelasi horisontal antara Eksekutiv, legeslative, Yudikative dan masyarakat.
Tapi yang paling urgen hubungan vertikal dengan Tuhan. Tak cukup dengan sanksi moral. Disana ada prrtanggungjawaban secarah hakiki dari setiap detikinformasi yangkeluar sebagai produk berita. Distorsi informasi dan berdampak luas ke publik. Merupakan satu kecelakaan redaksi. Jatuhnya pesawat Adam Air di Matangga adalah bentuk distorsi informasi yang berdampak luas.
Kecepatan informasi dari satu sumber tanpa menguji kebearan informasi. Berpotensi melahirkan distorsi.
Sejatinya sang jurnalis tak hanya memburu sumber sekunder . Tapi si jurnalis menembus sumber primer. Sehingga informasi itu betul-betul akurat.
Di media-media lokal dan nasional kita. Masih sering kita temukan. Media sekelas tempo kadang terpeleset. Konsekuensinya tak jarang media tersebut berurusan dengan hukum.
Ada beberapa catatan penting untuk mengintip dapur-dapur redaksi. Pertama seperti apa misi media tersebut. Kedua karakter madia tersebut. Ketiga adanya intervensi media massa datang dari pemiliknya (Ouwner).
Urgensi kepentingan membaur dan membentuk tujuan media. Mengaburkan fakta-fakta menjadi pembenaran sepihak menjadi menu yang tak sehat. Publik kadan tak mampu memilah dan memilih mana infirmasi yang halal dan haram. Sebab dalam konten berita bisa saja halal jadi haram dan haram jadi halal.
Informasi terus menggempur ruang-ruang publik. Saling bersahutan seperti dinamika diruang orang-orang (OS ).
Kadang kritikan berbau hujatan terhadap kinerja pemangku jabatan. Subyektiv dan menghakimi individu. Seolah-media massa adala “ Dewa” pembawa kebenaran mutlak.
Pola Ketergantungan
Sebagai industri media pers seperti berada di simpang jalan. Bingung tak mampu menjadi penunjuk arah bagi publik.
Disisi lain media harus mampu menghidupi dirinya sendiri. Tanpa harus “menetek ke APBD” idealnya memang begitu. Kenapa? agar fungsinya tak bisa di intervensi oleh penguasa. Membangun korelasi asal jangan berafliasi pada kepentingan kelompok tertentu. Sebab amat mudah goyah dan independensinya tetap terjaga.
Ketika pola ketergantungan kepada penguasa. Yakin pers akan kehilangan arah. Satu pepatah klasik “ Gajah didepan mata tak nampak semut diseberang lautan begitu nampak”.
Bukan berarti media tak boleh memberitakan proses pembangunan. Terkait sejaumana keberhasilannya dan tranparansi penggunaan anggaran negara.
Tapi proporsional dan obyektivitas melihat pembangunan. Itu jauh lebih penting dari segedar memuji dan mengkultuskan seorang pemimpin.
Mengurai benang kusut soal sosial,budaya,ekonomi dan politik. Memberi edukasi politik ke publik. Agar proses demokrasi kedepan makin berkualitas. Membangun toleransi beragama bukan mengoyak-ngoyak nilai-nilai keberagaman. Menumbuhkan kultur sebagai karakter budaya bangsa. Untuk bisa saling menghargai. Etika berkomunikasi sebagai produk budaya.
Dari aspek tersebut Pers memiliki andil yang amat besar untuk mencerdaskan Bangsa. Pers sebagai penyambung lidah rakyat untuk didengar penguasa. Menjaga NKRI. Bukan sebaliknya sebagai alat propaganda dan provokativ.
Memang tidak mudah merekontruksi nilai-nilai moral. Sebab soal moral dan agama bukan disitu subtansinya. Dukungan politik pemerintah untuk membangun satu sistim yang baik dan benar.
Menurut Alwi Rahman pada satu ketika mengurai  dalam ruang diskusi digrub OS. Dalam teori demokrasi memungkinkan lahir manusia  baik dari sistim yang baik. Begitu pula sebaliknya sistim yang jahat akan lahir manusia yang jahat.
Lagi-lagi sistim merupakan cara untuk mencapai tujuan. Dan sistim menjadi kekuatan berdemokrasi Begitupula dalam mengola informasi dengan sistim yang baik pula untuk mendapatkan informasi yang baik dan benar.
Ditengah masih-carut marutnya demokrasi. Pers sebagai instrumen demokrasi yang menjaga dan mengawal proses demokrasi itu sendiri. Namun tantangan pers kedepan makin berat di bawah masih “ setengah hstinya demokrasi”.
Demokrasi belum sepenuhnya di jalankan. Belum konsitennya nilai-nilai demokrasi (mengutamkan rakyat,2008).
Hal itu dapat dilihat. Ketika produk demokrasi bernama pers di beri kebebasan tapi tidak seenaknya bebas. Dalam kebebasanya masih di atur dalam regulasi. Padahal negara demokrasi persnya tak bisa di intervensi. Tapi di negara kita yang baru belajar demokrasi pers di perhadapkan pada aturan.
Selain itu,ketergantungan rilis berita dari humas kadang melahirkan pola penyeragaman informasi. Sebab berita yang lahir dari ruang-ruang press room sudah melalui proses editing dari institusi yang bersangkutan.
Diruang humas sang jurnalis sering bergumpul menunggu sumber sekunder ( humas).
Fenomena seperti ini sering kita temui. Memburu informasi dengan menjelajahi berbagai sumber. Yakin informasi itu tak akan kering.
Akhirnya pola penyeragaman berita terkait satu obyek akan membunuh kreativitas dan kepekaan sang jurnalis.
Sudat pandang dalam melihat satu obyek menjadi hal penting dalam mengurai lalu-lintas informasi.
Sehingga geliat pembangunan di provinsi yang baru 1O tahun setelah terbentuknya. Dapat di lihat dari berbagai peerspektif. Dibalik geliat itu dan program pemerintah dapat di lihat secarah jernih.
Kendati harus di akui dibalik itu masih ada kekurangan. Paling tidak pers mampu memposisikan dirinya sebaga penyeimbang dan kontrol yang kontruktiv. Akhirnya saya hanya mengutif kalimat dari seorang wartawan senior Karni Ilyas “ Berita itu harus diburu dan sukses itu tidak tiba-tiba.Bermimpi itu halal tapi ada syaratnya, yaitu kerja keras,”(*)









Komentar